Dulu, media massa adalah satu-satunya wahana yang dapat membius masyarakat mulai edukasi, provokasi, bahkan dapat mengobrak-abrik tatanan negara. Keperkasaan itu seakan-akan mutlak dan tak terkalahkan. Alhasil, media massa dimanfaatkan banyak kalangan untuk propaganda, promosi, dan menyampaikan bermacam informasi.
Dalam dunia komunikasi, keperkasaan media massa sesuai dengan teori jarum hipodermik dan teori peluru. Sekali membius, seseorang tak dapat berbuat apa-apa. Namun keperkasaan itu dilemahkan teori agenda setting, dimana tidak semua yang diungkapkan media massa bersifat penting bagi masyarakat, tergantung setting dan targetnya hingga masyarakat bisa memilih. Hal ini sesuai pula dengan teori uses and gratification. Lalu, apakah teori-teori tersebut masih berlaku bagi media massa dengan munculnya new media semacam social media, portal, dan web blog?
Memang terjadi perubahan budaya cukup besar setelah munculnya new media, terutama social media. Mulai pola komunikasi hingga perilaku dari masyarakat itu sendiri. Namun semuanya tak dapat dihindari, sebab perkembangan teknologi adalah suatu keniscayaan yang tak dapat dikekang dan ditantang, melainkan harus diterima dan dipelajari. Hal ini diungkapkan Staf Ahli Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) Republik Indonesia Bidang Komunikasi dan Media, Dr. Henry Subiakto, MA.
“Social media merupakan bagian dari teknologi yang tidak bisa dihindari. Artinya, teknologi itu akan datang dan kita tidak bisa menghindar. Misalnya ada sisi negatifnya lalu kita tidak boleh menggunakan itu, tentu tidak bisa. Teknologi merupakan keniscayaan sejarah, dengan segala konsekuensinya. Teknologi akan selalu datang. Ketika kita menghambatnya, berarti kita telah menghambat perkembangan dan pengetahuan manusia di muka bumi,” ujar Henry.
Memang teknologi tak bisa ditahan. Selama manusia masih mampu berpikir dan berinovasi, maka teknologi baru akan terus bermunculan. Setiap hari, setiap jam, bahkan setiap detik teknologi baru tercipta. Tak jauh berbeda dengan perkembangan media yang kini memasuki era new media atau sering dikatakan sebagai media masa depan.
Menurut dosen Ilmu Komunikasi Institut Manajemen Telkom (IM Telkom), Alila Pramiyanti, S.Sos, M.Si, new media memiliki konsep cukup luas dan perkembangannya pun cukup pesat. Tilik saja perkembangan komputer, internet, handphone, smartphone, hingga tablet. Dengan perkembangan ini, banyak hal turut berubah, seperti kebiasaan, pola hidup, hingga cara berkomunikasi. Perubahan jelas berdampak positif maupun negatif.
“Ketika teknologi komunikasi berkembang, cara orang berkomunikasi pun berubah, dan pasti ada efek positif dan negatifnya. Positifnya, arus informasi jadi lebih mudah, cepat, real time. Negatifnya, orang jadi kurang bertatap muka dan lebih asyik dengan gadget-nya,” kata Alila.
Perubahan Pola Komunikasi
Perubahan pola komunikasi yang terjadi setelah tumbuhnya social media cukup besar. Dulu, konsep dasar komunikasi pada media adalah adanya komunikator yang sering dijabarkan sebagai media massa, kelompok besar atau organisasi, sementara komunikan adalah masyarakat yang hanya menerima dan memberikan respon atau feedback tertunda. Kini, konsep itu berubah drastis. Saat ini, individu dapat menjadi komunikator untuk khalayak luas. Seorang komunikan pun dapat berubah menjadi komunikator ketika ia dapat mengungkapkan atau mendorong bahkan mempropaganda masyarakat lainnya.
“Sekarang yang namanya audiens atau komunikan bisa sekaligus menjadi komunikator. Artinya, saat ini publik dapat menjadi komunikator, sedangkan dulu komunikator adalah media, institusi-institusi besar, dan organisasi-organisasi besar. Jadi, masyarakat dulu semi pasif atau bahkan pasif yang hanya menerima, kalaupun berkomentar sifatnya terbatas dan tertunda. Sekarang, masyarakat pengguna media konvensional pun kalah waktunya dibandingkan pengguna media modern semacam social media. Gadget lebih sering digunakan ketimbang menonton televisi atau membaca koran,” tutur Henry.
Dia melanjutkan, “Apakah seseorang selama membuka social media akan diam saja? Tentu tidak. Ia akan baca, forward pesan, komentar, bahkan membuat status atau twit baru, dan disebarkan. Ini berarti dia sudah menjadi komunikator. Jadi, publik menjadi komunikator untuk publik yang lain,” jelas Henry.
Tak hanya pola komunikasi yang terus berubah jika dilihat dari sisi sejarahnya. Dosen Sekolah Komunikasi dan Multimedia (SKM) IM Telkom, Imansyah Lubis, S.Sos, M.Sn. memaparkan, perubahan bermula dari komunikasi yang menggunakan simbol berbentuk grafik, gambar atau lukisan. “Dahulu orang berkomunikasi salah satunya dengan lukisan gua yang sifatnya piktorial dan visual, lalu diciptakan huruf misalnya huruf Mesir, Cina dan Jepang yang berasal dari gambar. Hingga saat ini munculah huruf-huruf yang dipahami. Nah, kini muncul lagi emoticon atau berbagai gambar, misalnya dalam sms, seperti bibir tersenyum dan sebagainya. Ini sebuah perubahan yang kembali kepada visual. Misalnya handphone dulu menggunakan tulisan ‘SMS’ atau ‘foto’ untuk menunjukkan menu tersebut. Tapi kini SMS (short message service) menggunakan lambang amplop dan foto dengan gambar kamera. Semuanya kembali kepada visual atau simbol, graphic user interface,” paparnya.
Lain halnya dengan Alila yang menyatakan, terjadi dua perubahan signifikan pola komunikasi. Pertama, berkurangnya komunikasi tatap muka. Padahal komunikasi tatap muka cukup penting untuk mengetahui bermacam bahasa tubuh yang tak bisa diungkapkan dalam kata-kata saat berbicara. “Bahasa tubuh, mimik wajah, intonasi suara yang spontan saat berbicara langsung tatap muka tak dapat tergantikan. Meski sekarang ada emoticon, menurut saya, tetap saja berbeda. Emoticon akan terbatas dan tak bersifat spontan. Komunikasi tatap muka akan lebih menemukan ekspresi manusia secara lebih luas lagi,” ungkap Alila.
Senada Alila, Henry berpendapat, komunikasi tatap muka memang semakin berkurang setelah munculnya social media. Misalnya, pertemanan dan sosialisasi dengan tetangga cukup menurun ketimbang sebelum adanya new media. Padahal, “Komunikasi personal tetap penting, terutama untuk keluarga inti. Kalau kangen ke orang tua khan pengen ketemu langsung, apalagi ortunya tidak suka pakai twitter. Tapi di lingkungan lebih horisontal seperti ke tetangga, kenalan, dan sebagainya interaksi akan lebih banyak via social media,” tambah Henry.
Perubahan kedua menurut Alila, munculnya budaya texting yaitu terbiasa menulis dalam bentuk teks-teks singkat. Budaya texting ini juga berpengaruh terhadap kemampuan menulis (writing skill). "Contohnya mahasiswa, mereka sering menggunakan gaya bahasa ataupun tulisan SMS atau BBM (Blackberry Messenger) dalam ujian sehingga pembahasan mereka lebih singkat, kurang lengkap, analisisnya kurang mendalam. Menurut saya, kemampuan generasi sekarang agak menurun dalam writing skill, khususnya dalam analisis, membuat paper, marketing plan, atau menyusun karya ilmiah seperti skripsi. Mungkin karena mereka terbiasa dengan space terbatas,” katanya.
Perubahan pola komunikasi akibat berkembangnya new media memang tak begitu disadari langsung masyarakat. Namun dari esensi dan nilai komunikasi amat terasa, sebab terkadang seseorang lebih sering berkomunikasi di dunia maya ketimbang berkomunikasi langsung di dunia nyata.
Lumpuhkan Keperkasaan Media
Banyak penelitian menyinggung kekuatan media, sehingga muncul teori-teori yang memaparkan betapa media dapat berfungsi sebagai sarana edukasi, propaganda, informasi hingga menghibur. Namun terpaan dahsyat media massa kini mulai luntur seiring tumbuhnya new media, khususnya social media. Sebagaimana diungkapkan Henry, social media kini mulai menggeser keperkasaan media massa.
“Seseorang yang memiliki account Twitter dan memiliki follower 150 ribu misalnya, ia memiliki kekuatan untuk mempropaganda, karena yang membaca twit-nya sangat banyak. Pembaca 150 ribu itu lebih banyak dari jumlah pembaca surat kabar Pikiran Rakyat yang hanya sekitar 75 ribu orang. Jadi, sekarang tak hanya media massa yang bisa meruntuhkan suatu Negara, tapi individu pun bisa,” ungkap dosen Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya dan Universitas Indonesia (UI) ini.
Kedahsyatan terpaan social media dikarenakan komunikasi interpersonal. “Dalam komunikasi, yang dapat memberikan perubahan sikap paling besar adalah komunikasi interpersonal. Kalau Anda ketemu saya, lantas saya menjelek-jelekkan orang lain, maka Anda akan percaya. Atau sebaliknya saya memuji dan mengatakan orang itu baik, maka Anda juga akan percaya. Tapi kalau di media massa, belum tentu Anda akan percaya. Maka riset-riset komunikasi mengatakan, pengaruh komunikasi interpersonal sangat besar terhadap seseorang,” jelas Henry.
Ampuhnya komunikasi interpersonal disadari sejak lama. Masalahnya, dulu dibutuhkan waktu lama untuk melakukan komunikasi interpersonal kepada banyak orang, sehingga komunikasi massa dianggap lebih mudah. Tapi kini, komunikasi interpersonal lebih mudah dan cepat dilakukan dengan social media. Semua orang dapat menjadi komunikator layaknya media massa tanpa harus memiliki banyak uang, tidak seperti fenomena sebelumnya ketika pemilik media massa adalah para konglomerat atau pemodal besar.
“Individu dalam dunia seperti sekarang bisa menjadi apa saja terkait media. Ketika seseorang memiliki follower yang banyak, lalu dia meng-upload video dan gambar disertai narasi dan penjelasan, maka dia otomatis telah memiliki media. Itulah yang dinamakan media konvergensi atau teknologi konvergensi,” kata Henry.
Dampak Social Media
Indonesia salah satu negara yang memiliki kecepatan luar biasa dalam pertumbuhan teknologi dan new media. Dalam hal social media, Indonesia menjadi salah satu pengguna terbanyak di dunia. Perkembangannya merasuk hingga pelosok nusantara. Penggunanya berbagai kalangan.
Masih ingat tukang becak dari Yogyakarta bernama Blasius Haryadi yang memanfaatkan positif Facebook? Atau kisah sejumlah orang tua yang kehilangan anak perempuannya yang pergi dengan teman baru yang baru dikenalnya lewat social media? Inilah pedang bermata dua social media yang dapat memberikan keuntungan sekaligus menebarkan kesengsaraan.
“Social media bisa digunakan untuk hal positif maupun negatif. Semuanya tergantung siapa yang menggunakannya,” papar Henry. Imansyah menambahkan, “New media sebenarnya ambivalent dan bebas nilai. Artinya, tergantung seseorang memanfaatkannya untuk kebutuhan apa, positif atau negatif yang bisa menentukan adalah diri sendiri.”
Sementara Alila menilai, social media memiliki banyak dampak positif, terutama dalam mewadahi ekspresi seseorang, karena di social media seseorang dapat luas dan bebas berekspresi. “Dengan social media, seseorang bebas berekspresi mengutarakan apa yang ia pikirkan, bahkan menuangkan isi hatinya. Tapi kadang pesan yang disampaikan tak sesuai dengan medianya. Pesan khan seharusnya disampaikan melalui media yang tepat,” kata Alila.
Ihwal anggapan social media dapat mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat, baik Henry, Alila, maupun Imansyah menyetujuinya. Pasalnya, sekarang banyak orang jarang berinteraksi dengan tetangga atau orang-orang dekat lingkungannya, namun saling berkomentar akrab dengan mereka yang yang belum dikenalnya betul lewat saling mengunggah status di social media.
Pandangan mereka rada berbeda dengan Chairman of Technology Officer (CTO) PT Darta Media Indonesia atau lebih dikenal dengan Kaskus, Andrew Darwis. Ia mengatakan, social media lebih cenderung mendekatkan yang jauh. “Menurut saya, social media malah mendekatkan yang jauh, karena dengan fasilitas yang tersedia di dalamnya, seseorang bisa tetap berkomunikasi dengan dekat meskipun jaraknya berjauhan. Kasus Kaskus pada awalnya memang dibuat untuk mengobati kerinduan mahasiswa yang kuliah di luar negeri. Sampai sekarang pun banyak mahasiswa Indonesia yang berada di luar negeri menggunakan Kaskus untuk sharing ke sesama Kaskuser (sebutan untuk pengguna Kaskus),” ungkap Andrew.
Tak pelak, dampak social media memang akhirnya kembali pada masing-masing individu. Apakah mau menggunakan teknologi plus fasilitas di dalamya untuk kebaikan atau keburukan?
sumber : Cyber - dinamikakomunika.com
No comments:
Post a Comment