Jika anda sedang berada di wilayah Kota Bandung,
pernahkah mengunjungi sentra pembuatan sepatu Cibaduyut? Seandainya belum
pernah pun, minimal anda pasti pernah mendengarnya. Pasalnya, kawasan Cibaduyut
ini sudah populer. Bahkan, mantan Wakil Presiden Indonesia, Jusuf Kalla sempat
memamerkan sepatu buatan Cibaduyut yang dipakainya dalam sebuah acara televisi nasional.
Menurutnya, produk sepatu buatan Cibaduyut, tak kalah dengan sepatu-sepatu
buatan luar negeri.
Kawasan Cibaduyut hanyalah salah
satu kawasan yang menjadi terkenal berkat satu produk yang dihasilkannya. Pada
awalnya, kawasan ini memang lebih banyak dihuni perajin sepatu yang ternyata
mampu mengangkat nama wilayahnya, karena produk sepatu yang dibuat ternyata
berkualitas tinggi. Banyak potensi wilayah di Indonesia yang dapat dijadikan
sentra produksi untuk beberapa produk unggulan, sehingga perekonomian
masyarakat di wilayah tersebut dapat meningkat.
Semua ini dapat diawali dengan usaha
berskala kecil atau dikenal Usaha Kecil Menengah (UKM). Konsep yang dapat
diterapkan pada wilayah-wilayah tertentu dengan satu produk unggulan ini
disebut dengan “satu desa satu produk” atau One
Village One Product (OVOP). Meski begitu, perlu dukungan berbagai pihak
untuk menyukseskan konsep ini di Indonesia. Pasalnya, sudah banyak
sentra-sentra usaha dan bisnis di berbagai daerah yang mempunyai produk
unggulan tertentu, namun karena berbagai hal skalanya tidak pernah berkembang
dan tidak mampu mengangkat nama wilayahnya berkat produk yang dihasilkan.
Konsep OVOP sendiri dirintis Prof.
Morihiko Hiramatsu pada tahun 1980. Kala itu ia menjabat sebagai Gubernur Oita,
Jepang. Konsep ini kemudian berkembang dan diadopsi oleh negara-negara ASEAN,
diantaranya Malaysia, Filipina, Indonesia, Kamboja, Vietnam dan Thailand. Selain
Asia Tenggara, beberapa negara Asia sudah menerapkan konsep OVOP, antara lain
Mongolia, Korea, Taiwan, Bangladesh, Srilanka, Moldova, dan Timor Leste.
Sementara di Afrika, beberapa negara yang menerapkan OVOP diantaranya, Afrika
Selatan, Mozambiq, Tunisia, Malawi, Madagaskar, Liberia, Kenya, Ethiopia,
Ghana, Kongdom of Lesotho. Terakhir, konsep OVOP pun berkembang di Amerika
Selatan, seperti di Costarica, Ekuador, Mexico, Bolivia, Chile, Elsalvador,
Columbia, Peru, Paraguay, Argentina, Venezuela dan Brazil.
Konsep OVOP memang lebih banyak
diadopsi sejumlah negara berkembang, karena disana pertumbuhan UKM lebih banyak
dibanding negara maju. Konsep OVOP sejalan dengan pengembangan UKM yang
sebagian besarnya mengembangkan bisnis dengan memanfaatkan sumber daya lokal. Dengan
kata lain, Konsep OVOP dapat membuat suatu daerah menjadi terkenal karena
sebuah produk serta meningkatkan perekonomian warganya. Dengan konsep OVOP,
suatu daerah menetapkan satu produk yang memiliki keunikan untuk dikembangkan,
sehingga akan memberikan nilai tambah pada produk tersebut. Pada akhirnya, akan
memberi kontribusi pendapatan cukup besar bagi daerah tersebut, karena
produknya memiliki keunggulan dan tidak menutup kemungkinan dapat menembus
pasar internasional.
Selama beberapa tahun terakhir, OVOP terus
dikembangkan hampir seluruh negara di dunia, dan produk-produknya mendapat
respon cukup besar dari pembeli (buyers)
di setiap negara. Konsep OVOP sendiri mengutamakan produk unik yang terdapat
pada daerah, bahkan produk yang dihasilkan dapat menjadi ikon atau lambang
daerah tersebut. Keunikan tersebut menyangkut kultur budaya, lingkungan, bahan
baku, pengerjaan dan proses produksinya. Jadi, produk OVOP adalah produk suatu
daerah dengan keunikan yang tidak dimiliki daerah lainnya. Keunikan dan proses
produksinya yang langka, memberikan nilai tambah produk. Selanjutnya, daerah
OVOP menjadi menarik dan dapat menjadi tujuan wisata bagi turis domestik maupun
mancanegara. Hal ini tentu dapat menjadi peluang bisnis baru, yang juga akan
memberikan kontribusi bagi daerah yang bersangkutan.
Pengembangan
OVOP di Indonesia
Pengadopsian
konsep OVOP di Indonesia, umumnya berasal dari UKM yang secara konsisten menjalin
kerjasama dengan perusahaan-perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan
terus mendapat bimbingan serta aneka bantuan dari pemerintah. Hal ini berkaitan
dengan produk yang dihasilkan mewakili identitas daerah bahkan negara. Dimana
produk-produknya mencerminkan keunikan suatu daerah atau desa.
Selain beberapa wilayah yang sudah
mempunyai sentra bisnis produk unggulan yang mendunia, Indonesia masih memiliki
sekitar 74.000 desa yang memiliki keunikan atau ciri khas. Dimana mayoritas
atau sekitar 65 persen penduduknya masih tergolong miskin dan berpendapatan
rendah. Mayoritas, desa-desa tersebut masih eksis di sektor pertanian atau
agrikultur. Dengan kultur tersebut, sangat potensial untuk mengembangkan OVOP.
Terkait implementasi OVOP,
pemerintah melalui Kementerian Koperasi dan UKM optimistis akan ada 100 lokasi
yang mengembangkan OVOP di seluruh Indonesia sampai akhir tahun 2014. “Sampai
saat ini sudah ada 73 lokasi yang mengembangkan OVOP di seluruh Indonesia, sehingga
kita perlu 27 – 28 titik lagi sampai akhir tahun 2014,” ujar Asisten Deputi
Urusan Penelitian Sumberdaya UKM, Martono Djohari, seperti dilansir portal
berita investor.co.id, Kamis (15 Agustus 2013).
Martono mengungkapkan, pihaknya
tengah melakukan pembinaan dan pengembangan pada 27 koperasi di 13 provinsi
yang mengelola produknya melalui konsep OVOP. Yakni dengan mendorong para
pelaku koperasi yang mengembangkan OVOP dari sisi kemandirian, kreativitas dan
pembangunan karakternya. Pasalnya, konsep OVOP sudah terbukti sukses diterapkan
di banyak negara. Jika semakin banyak daerah yang mengembangkan produk unggulan
daerah melalui OVOP terutama yang dikelola koperasi, maka akan sangat potensial
untuk menggerakkan ekonomi daerah.
Uji coba pengembangan OVOP di
Indonesia diawali dengan merintis produk unggulan daerah yang sudah ada,
kemudian melakukan uji kunjungan turis, membuka lapangan pekerjaan dan
meningkatkan keterampilan SDM. Namun, OVOP dapat diandalkan sebagai gerakan
swadaya dalam rangka peningkatan kesejahteraan masayarakat serta menjadi wahana
revitalisasi ekonomi daerah. Konsep OVOP pun dapat menjadi metode membendung
urbanisasi, karena warga desa terkondisi tak memiliki cukup alasan untuk
mencari penghidupan ke perkotaan. Sebab, pekerjaan dengan penghasilan yang
relatif mensejahterakan sudah tersedia di desa.
Beberapa wilayah di Indoensia yang berpotensi besar
untuk pengembangan OVOP antara lain sentra kerajinan kulit di Sukaregang
(Garut), sentra kerajinan anyaman Rajapolah (Tasikmalaya), sentra kerajinan
gerabah di Plered (Purwakarta) dan Kasongan (Jogjakarta), Sentra kerajinan
bambu Desa Panglipuran, Bangli (Bali), sentra pengolahan keripik pisan dan
singkong Desa Tanjung Karang Barat (Bandar Lampung), dan lain-lain. Beberapa
sentra OVOP ini ada yang sudah berkembang dan difokuskan pada pengembangan
kualitas produk maupun pemasaran produknya.
Cyber
Penulis : Patimah
No comments:
Post a Comment